Penjelasan Atas Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020

Sumber: Dr. KH. Muhammad Asrorun Ni’am, M.A.
(Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat)

 

Pada saat pelaksanaan Pendidikan Madrasah Ramadhan yang dilaksanakan oleh Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Pusat, yang diikuti oleh Sekretaris MUI Kota Parepare, Muhammad Idris Usman bersama 500 orang se-Indonesia via Zoom, 2–7 Mei 2020.

*Ijtihad pribadi atau golongan dianulir (tidak berlaku) apabila sudah ada fatwa/edaran dari ulil amri (pemerintah/ulama)*

Azimah = hukum syar’i yang ditetapkan dan berlaku secara umum sejak awal (semula) dan ditinggalkan karena ada udzur yang berat (hukum asal)
RUKHSAH = pengecualian (dispensasi) dari prinsip umum (azimah) sebagai kebolehan melakukan pengecualian karena adanya al-hajah (kebutuhan) dan ad-darurah (keterpaksaan)

1. Wajib berikhtiar dan inilah hakikat tawakkal (proses kepasrahan setelah melalui ikhtiar yang maksimal. Kalau pun anda sehat, jangan melakukan aktivitas yang membawa potensi kepada penularan wabah ini
2. Yang sudah terpapar wajib menjaga diri, isolasi mandiri, berobat dan tidak boleh keluar yang dapat menyebabkan penularan kepada orang lain. Baginya yang sudah terpapar (positif) haram hukumnya keluar yang dapat menimbulkan ketakutan bagi orang lain dan dapat menularkan kepada orang lain. Dalam konteks ini relevansi dengan hadis Nabi: Demi Allah, tidak termasuk orang beriman (3 kali), Sahabat bertanya, Siapakah itu? Rasulullah saw. Menjawab; “Yaitu orang yang tidak aman (tidak nyaman) orang dekatnya dari gangguan (penyakitnya). Sekalipun atas nama ibadah, karena ini ada udzur maka dia mendapatkan dispensasi untuk meninggalkan shalat Jumat dan berjamaah di masjid (udzrun min a’dzril Jumuah wal jamaah) karena dapat membahayakan orang lain. Tidak shalat Jumatnya dia, tidak mengurangi ketaatan atau tidak taat kepada perintah Allah, karena ada yang namanya AZIMAH dan RUKHSAH. Ketika ada udzur, kemudian dia mengambil rukhsah, itu tidak mengurangi kesempurnaan sebagaimana dia ketika melaksanakan shalat Jumat. Jangan memaksakan diri untuk mengambil ADZIMAH karena mengejar kesempurnaan padahal sudah rukhsah. Dalam ushul fiqhi ada RUKHSATUL BADAL (mengganti) dan ada RUKHSATUT TARKI (meninggalkan). Rukhsah shalat Jumat ini karena ada wabah ini masuk dalam kategori RUKHSATUTTARKI (meninggalkan) dengan mengganti shalat Dhuhur di kediaman masing-masing. Dia tidak boleh (haram) berkerumun sekalipun atas nama ibadah untuk menjauhkan orang lain dari penyakitnya.
3. Tidak terpapar ada dua kemungkinan. Kalau dia berada berada daerah atau kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi sekalipun belum ada yang positif. Yang punya wewenang dalam menetapkan apakah tinggi atau sangat tinggi adalah ulil amri (pemerintah) bukan pribadi atau organisasi apapun.
Yang perlu dijelaskan secara detil adalah point (3b) dari Fatwa MUI Pusat Nomor 14 Tahun 2020 ini. Ini yang sering disalahtafsirkan atau salah interpretasi.
Dia berada di daerah yang potensi penularannya rendah. Wajib melaksanakan ibadah seperti biasa. Ini perlu penjelasan detil:
a. Kawasan rendah, tinggi atau sangat tinggi sesuai penetapan ulil amri (pihak berwenang) dilihat pada: (1) kondisi factual yang melingkupi kawasan itu kemudian (2) kondisi factual karakteristik wabah, kemudian (3) kondisi factual policy (kebijakan) pemerintah yang berwenang. Ketiga variable sangat menentukan . Sungguhpun di dalam kawasan itu belum adanya positif tetapi kawasan itu open theritory (kawasan terbuka), orang atau masyarakat itu tetap lalu lalang sehingga ada potensi terjadinya penularan sekalipun belum ada yang positif, kemudian dipahami bahwa wabah ini memiliki karateristik menular dengan adanya kontak manusia dengan manusia karena sulit diidentifikasi karena ada orang yang sebenarnya sudah terpapar, tapi karena imunnya tinggi sehingga kelihatannya tidak menunjukkan gejala sama sekali (OTG). Kemudian kondisi factual berikutnya tidak semua orang terpapar menunjukkan gejala dan tidak semua orang memiliki imunitas yang tinggi, sehingga ketika dia berinteraksi dengan orang yang memiliki imunitas yang rendah , dia bisa terpapar dan membahayakan orang lain. Orang ini menjadi carrier, dalam situasi seperti ini sungguhpun secara matematis belum ada yang terpapar dan belum ada yang positif, dalam kondisi kawasannya masih terbuka, maka dalam situasi seperti ini masih berlaku udzrun min a’dzril Jumuah wal jamaah (I’DZAR AL-‘IBADAH FIL MASAJID). Jadi bukan hanya ditentukan oleh adanya PSBB (ulil amri), bukan hanya tidak ada yang positif kemudian kita merasa terikat dengan penularan rendah (bisa melaksanakan ibadah secara adzimah). Masih ada variable berikutnya yaitu karakteristik wabah covid-19, karakteristiknya khusus yaitu menyukai kerumunan massa (manusia ke manusia) dan karakteristik orang (OTG atau tidak), maka sepanjang masih ada proses lalu lalang yang berinteraksi dengan luar dan punya potensi penularan, maka masih dalam katergori udzrun min a’dzril Jumuah wal jamaah (I’DZAR AL-‘IBADAH FIL MASAJID) sekalipun masih rendah atau belum ada yang positif sekalipun.
b. Situasi rendah yang boleh melaksanakan shalat berjamaah di masjid adalah daerah terisolasi (kawasan) yang penduduknya homogen dan mereka sama sekali tidak berinterkasi dengan orang luar, tidak ada orang yang keluar dan tidak ada orang yang masuk, maka dalam situasi seperti ini sekalipun ada potensi penularan, tapi potensinya rendah (mirip dengan satu keluarga, saling menjaga).
Sesuai poin 3, penjelasan dari Dr. H. M. Asrorun Ni’am, bahwa hanya daerah yang terisolasi (pulau) dari luar yang masyarakat nya tidak keluar masuk yang dimaksudkan dalam fatwa MUI poin 3 dan 5. Adapun daerah terbuka seperti Parepare, maka mutlak dikategorikan rawan sekalipun belum ada kasus positif sebagai bagian bentuk kewasapadaan dan pencegahan.. Apalagi Parepare sudah mulai tidak terkendali.

Panduan, menyikapi nya tidak proporsional
Pandemi covid 19 membawa dampak sangat luas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk perbedaan dalam menyikapi pelaksanaan shalat Jumat di tengah pandemi covid 19. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sudah mengeluarkan edaran terkait pelaksanaan shalat Jumat dalam suasana pandemi covid 19. Pemerintah sebagai Ulul Amri, wajib dipatuhi, seperti ditegaskan dalam Q.S. al-Nisa ayat 59 (Wahai orang-orang yang beriman, Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Demikian pula MUI Sulawesi Selatan, sudah mengeluarkan himbauan.
العلماء ورثة الانبياء
(Ulama adalah pewaris para Nabi).
Dalam kaedah ushul dikatakan:
حكم القضى يرفع الخلاف
Maka dgn edaran Gubernur, himbauan MUI, apalagi kalau ada juga kebijakan Pemerintah Kota Pare-Pare, maka perbedaan itu sudah selesai, ikut keputusan pemerintah.

Adapun regulasi yang berkaitan dengan Panduan Beribadah di bulan Ramadhan 1441 H.
1. Fatwa MUI No.14 tahu 2020 tanggal 16 Maret 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.
2. SE Kemenag No. 6 tahun 2020 tentang Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H DiTengah Pandemi Wabah Covid-19 tanggal 6 April 2020
3. Taushiyah Dewan Pimpinan MUI Menyambit Ramadhan Dalam Situasi Covid-19 No. Kep-1065/DP-MUI/IV/2020 tgl 15 April 2020.
4. Surat MUI No. A-1123/DP-MUI/IV/2020 tanggal 30 April 2020 yg Ditujukan Kepada Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Prop di Indonesia terkait Pelaksanaan Fatwa MUI No.14 tahun 2020. (*)