Bersama Budayawan dan Multi Stakeholder, DP3A Parepare Siap Wujudkan Kesetaraan Gender Berperspektif Budaya Lokal

PAREPARE, suaraya.news — Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Parepare dalam upaya penguatan kelembagaan Pengarustamaan Gender (PUG) menggelar diskusi secara virtual dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD).

“Kegiatan ini kita harapkan dapat menemukan rumusan yang tepat dalam konsep gender melalui basis budaya lokal yang dipandang signifikan dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, khususnya di Kota Parepare,” harap Plt Kepala DP3A Parepare, Hj Rostina MP.

Berbicara kesetaraan gender di pemerintahan, Kepala Bidang Kesetaraan Gender DP3A Parepare, Sriyanti Ambar mengemukakan, jika Pemerintah Kota Parepare sangat memperhatikan konsep kesetaraan gender. Terbukti dengan banyaknya perempuan diberi peran pada jabatan strategis seperti Camat hingga Kepala SKPD (eselon II).

“Dalam pengambilan keputusan, seperti Musrenbang, perempuan juga dilibatkan. Sejak kepemimpinan Bapak Wali Kota Parepare, Dr HM Taufan Pawe, dihadirkan Musrenbang Perempuan dan Musrenbang Anak sebagai wadah untuk menampung aspirasi mereka,” ungkap Sriyanti.

Karena itu, kata dia, FGD dari kaca mata budaya lokal ini, diharapkan dapat melahirkan konsep baru dalam kesetaraan gender di Parepare.

Meskipun kegiatan dilakukan menggunakan video conference, namun FGD bersama Budayawan, Kementerian Agama, Akademisi, Media, tokoh agama, dan tokoh masyarakat berlangsung seru, dan menarik, sehingga mampu menyedot perhatian para peserta atau partisipan.

Ulasan wawasan para pembicara, seperti, Laoddang To Sessungriu yang mengurai perspektif budaya Bugis Makassar terhadap kesetaraan gender bak menjadi  penguatan terhadap PUG.

Andi Oddang, sapaan Laoddang To Sessungriu merupakan Budayawan dan bangsawan yang menempati posisi sebagai Opu Macoa Cenrana di Kedatuan Luwu.

Andi Oddang banyak mengulas tentang peran dan posisi strategis yang ditempati perempuan dalam kerajaan Bugis. Ia mencontohkan, Batari Toja Daeng Talaga. Raja Bugis perempuan, yang berhasil memimpin di Kerajaan Luwu, Bone dan Soppeng.

Perempuan dalam kaca mata budaya Bugis lanjut Andi Oddang, sangat dielu-elukan atau dimuliakan.

Selain berkaca pada budaya lokal, FGD itu juga mengulas kesetaraan gender dari perspektif agama.

“Sangat jelas pengarustamaan gender dalam Alquran. Tidak ada perbedaan antara hak laki-laki dan perempuan. Yang ada hanya perbedaan penafsiran orang terhadap agama sehingga membuat bias gender,” timpal Dr. Muh Idris Usman, Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kementerian Agama (Kemenag) Parepare.

Dia mencontohkan, salah satu hadis yang dipahami berbeda, sehingga menimbulkan perdebatan tentang layak tidaknya perempuan dalam memimpin.

“…Ketika sampai kepada Nabi berita tentang bangsa Persia yang mengangkat anak perempuan Kisra sebagai Ratu mereka, Nabi bersabda: “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada permpuan. Hadist inilah yang menuai persepsi yang berbeda,” terang Idris, sapaannya.

Secara tekstual, kata dia, hadis Nabi ini berbunyi tentang penolakan terhadap kepemimpinan perempuan. Namun, secara konteksual, sesuai dengan asbaab al-wuruudnya, hadis Nabi ini muncul ketika negara Persia dilanda pertikaian dan konflik antar elite politik yang luar biasa dan sulit dibendung.

Akhirnya, negara Persia berada di ambang kehancuran. Pada saat itu, muncul seorang pemimpin perempuan yang memang tidak kapabel untuk mengurus dan menjalankan roda pemerintahan. Artinya, penolakan itu bukan didasarkan pada jenis kelamin, tapi karena dia tidak memiliki kapabilitas dalam memimpin yang bisa jadi juga dimiliki kaum laki-laki.

“Jadi hadis ini memberikan penjelasan tentang kerajaan Persia yang mengalami kekacauan dalam berbagai bidang seperti halnya yang menjadi hipotesa Nabi. Raja persia dibunuh anaknya sendiri. Kerajaan kemudian diganti kepada anak perempuannya (Buwaran), yang kemudian membawa kehancuran kerajaan Persia karena memang tidak memiliki kualifikasi seorang pemimpin yang adil, bijaksana, visioner, dan karakteristis kepemimpinan lainnya, melainkan hanya kepentingan ingin berkuasa,” tegas Idris.

Penafsiran ganda yang muncul lantaran pemaknaan tekstual tanpa melihat konteks inilah, yang membuat bias gender dalam kaca mata beberapa kalangan.

Dua fasilitator, Ibrahim Fattah (Direktur YLP2EM) dan La Ode Arwah Rahman (Kepala Bidang IKP Dinas Kominfo Parepare) mampu memandu acara yang berlangsung berjam-jam itu dengan penuh semangat.

Hingga berakhir, kegiatan berlangsung tidak monoton, bahkan berhasil memompa semangat para peserta yang diberi kesempatan satu persatu untuk memberikan tanggapan atau masukan.

Kegiatan ini juga diikuti Fasilitator PUG Provinsi Sulsel, Syathri Fithrah, Akademisi, Dr Iskandar, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Parepare, Mustadirham, serta sejumlah tokoh agama dan budaya lainnya. (*)