PAREPARE, suaraya.news — Wakil Ketua DPRD Kota Parepare, M Rahmat Sjamsu Alam meminta semua pihak menghentikan polemik perdebatan bisa tidaknya salat jamaah di masjid di tengah wabah.
Perdebatan ini seharusnya fokus ke substansi dasar hukum yang mengatur bisa tidaknya salat di masjid di tengah wabah, yakni Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Hal ini ditegaskan Rahmat di tengah masih adanya elemen masyarakat yang masih mempertanyakan peniadaan salat Jumat, salat Tarawih, salat fardu berjamaah, dan ibadah lainnya di masjid, Rabu, 13 Mei 2020.
“Substansinya adalah kembali ke Fatwa MUI nomor 14 tahun 2020. Pada poin 4 menyebutkan, dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan salat Zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah salat lima waktu atau rawatib, Tarawih, dan Id di masjid atau tempat umum lainnya,” papar politisi yang akrab dengan tagline RSA ini.
Sekarang bagaimana dengan status Parepare apakah tidak terkendali atau zona merah yang berada pada level tertinggi status tanggap darurat kesehatan? Rahmat menegaskan yang punya wewenang menetapkan wilayah zona merah atau tidak adalah Dinas Kesehatan setelah berkoordinasi dengan Pemprov.
Nah, apabila Dinas Kesehatan menyatakan zona merah, atas dasar itu kepala daerah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang status tanggap darurat kesehatan di daerahnya.
Wali Kota Parepare sudah mengeluarkan SK tentang status tanggap darurat Parepare. Berarti Parepare berada dalam zona merah.
“Logikanya kenapa kepala daerah keluarkan SK tanggap darurat, berarti daerahnya zona merah. Parepare sekarang zona merah,” tegas Rahmat yang kerap disapa Ato.
Bagaimana indikator zona merah itu, Rahmat menjelaskan, standar kesehatan menyebutkan jika satu atau lebih warga lokal di suatu daerah positif terpapar virus Corona dan berpotensi menyebarkan virus lebih luas, maka otomatis daerah itu menjadi zona merah.
Jumlah warga lokal Parepare yang terpapar Corona saat ini mencapai angka 22 orang. Bahkan 23 orang jika ditambahkan satu orang ber-KTP Parepare yang bertugas di Mamasa, Sulbar.
“Nah, dalam poin 6 Fatwa MUI menyebutkan, dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan salat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan salat Zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jamaah salat lima waktu atau rawatib, salat Tarawih dan Id di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim,” tekan Ketua DPC Partai Demokrat Parepare ini.
Penekanan Rahmat, diperkuat oleh Dr KH Muhammad Asrorun Ni’am, MA, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat.
Dia mengemukakan, menyikapi tidak proporsional pandemi Covid-19 membawa dampak sangat luas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk perbedaan dalam menyikapi pelaksanaan salat Jumat di tengah pandemi Covid-19.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, kata dia, sudah mengeluarkan edaran terkait pelaksanaan salat Jumat dalam suasana pandemi Covid-19.
“Pemerintah sebagai Ulul Amri, wajib dipatuhi, seperti ditegaskan dalam Q.S. al-Nisa ayat 59 (Wahai orang-orang yang beriman, Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Demikian pula MUI Sulawesi Selatan, sudah mengeluarkan imbauan. (Ulama adalah pewaris para Nabi). Dalam kaedah ushul dikatakan: Maka dengan edaran Gubernur, imbauan MUI, apalagi kalau ada juga kebijakan Pemerintah Kota Parepare, maka perbedaan itu sudah selesai, ikut keputusan pemerintah,” tandas Dr KH Muhammad Asrorun. (*)